E Kasus-Kasus Transfer Pricing Diindikasikan terdapat praktik-praktik usaha mengindari pajak, baik oleh wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Salah satu praktik tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari pajak oleh perusahan-perusahaan multinasional, dengan melakukan proses transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha. 137
AnalisisPenentuan Harga Pasar Wajar dalam Transfer Pricing atas Royalti dalam Industri Consumer Good (Kasus PT Unilever Indonesia Tbk) Survey yang dilakukan oleh Ernst & Young menyimpulkan bahwa transfer pricing merupakan isu perpajakan terbesar di tahun 2010 untuk perusahaan multinasional dengan royalti sebagai salah satu isu terbesar.
penghindaranpajak dilakukan dengan modus transfer pricing atau mengalihkan keuntungan atau laba kena pajak dari Indonesia ke negara lain dan juga ditemukan modus pengurangan laba pun terjadi karena pembayaran royalti dan pembelian bahan baku yang tidak wajar dan penjualan. Wafiroh (2015) praktik transfer pricing mengakibatkan pembayaran pajak
Sebagaibukti, aksi nyata yang dilakukan Unilever pada tahun 2012 merekrut 28 calon pemimpin masa depan melalui skema Unilever Future Leaders. Perusahaan memastikan bahwa para karyawan memeperoleh kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri.
Dalamsidang terakhir kasus bernomor Coca-Cola Co. v. Commissioner, T.C., No. 31183-15, IRS berpendapat pajak terutang Coca Cola seharusnya senilai US$9,4 miliar dalam kurun waktu tiga tahun tersebut. Pada 10 April 2019 lalu, IRS akhirnya menyampaikan balasan singkat berupa ikhtisar kepada Pengadilan Pajak.
PTUnilever Tbk Digugat Rp 13,5 Miliar Gara-gara Iklan Deterjen Rinso. TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- PT Unilever Indonesia Tbk sedang menghadapi gugatan terkait hak cipta yang diajukan Joice M. Senduk
Skandal restitusi pajak PT Wilmar Nabati Indonesia memasuki babak yang menarik. Dalam sebuah rapat tertutup dengan Panitia Kerja (Panja) Mafia Perpajakan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu dua pekan lalu, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengungkap dugaan penyimpangan restitusi pajak senilai ratusan miliar rupiah yang dilakukan PT Wilmar Nabati Indonesia.
transferpricing senilai US$9,4 miliar dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2009.9 Di Indonesia praktek transfer pricing juga dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional. Hal ini sejalan dengan
Jakarta- Tak hanya kasus restitusi fiktif dan praktek makelar pajak yang menggerus potensi penerimaan negara dari sektor pajak, praktek transfer pricing juga dinilai banyak merugikan. Menurut pengamat pajak dari Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Tax Watch, Iwan Piliang, pada 2009 saja, kerugian negara akibat praktek ini mencapai Rp 1.300 triliun.
Persoalanini bukanlah hal baru karena pernah mencuat sekitar 11 tahun lalu atau ketika Adaro akan go public pada 2008. Kala itu mencuat soal dugaan transfer pricing oleh Adaro lewat perusahaan terafilisasi di Singapura. Namun persoalan tersebut menguap karena Adaro tak terbukti melakukan penghindaran pajak.
PINrqJk. TRANSFER PRICING Redaksi DDTCNews Selasa, 24 Januari 2017 1707 WIB DITINJAU dari konsep dasar yang ada dalam ranah transfer pricing, perdebatan mengenai penentuan nilai yang telah memenuhi syarat armās length principle prinsip kewajaran sangat menarik untuk dicermati. Perdebatan tersebut terutama terlihat dari dua hal. Pertama, makna armās length principle dari metode transfer pricing yang dipergunakan. Menurut Avi-Yonah, salah satu penulis dalam buku berjudul Resolving Transfer Pricing Disputes A Global Analysis ini, adanya transactional net margin method TNMM dan profit split method, telah menggeser makna armās length principle menjadi lebih luas dan berbeda dengan apa yang sebelumnya dikenal sebagai traditional armās length. Kedua, mengenai hypothetical armās length atau penentuan nilai armās length yang mungkin berasal dari suatu pembanding yang tidak nyata atau berupa dugaan hipotesis. Hal ini dapat dilihat dari kasus di Jepang, Jerman dan Kanada yang tercantum dalam buku ini. Isi buku ini pada dasarnya tidaklah berbeda dengan buku transfer pricing pada umumnya yang bermuara pada norma armās length principle. Baistrocchi, penulis sekaligus editor buku ini, berpendapat bahwa armās length sebagai norma hukum yang bersifat standar pada dasarnya tidak memiliki suatu patokan yang jelas dan sulit untuk diikuti oleh wajib pajak. Berbeda dengan norma hukum yang bersifat aturan, standar hanya dapat dinilai kebenarannya ketika hal tersebut sudah terjadi ex post dan tergantung dari otoritas hukum menentukan putusannya. Oleh karena itu, penerapan armās length principle di berbagai negara dapat dikaji dari putusan-putusan pengadilan atas sengketa transfer pricing. Hampir seluruh kasus penting dalam sengketa transfer pricing juga disajikan dalam buku ini. Misalkan kasus klasik sengketa transfer pricing periode 1960-an, Hofert Cas, kasus Unilever di Kenya, hingga kasus dengan nilai sengketa tertinggi sepanjang sejarah sengketa transfer pricing, yaitu GlaxoSmithKline. Untuk sebuah literatur perpajakan, Resolving Transfer Pricing Disputes A Global Analysis adalah buku yang sempurna. Paling tidak terdapat beberapa alasan mengapa buku ini wajib untuk dibaca siapa pun yang ingin mendalami isu transfer pricing. Pertama, buku ini disusun oleh akademisi perpajakan global yang telah berkecimpung dalam ranah transfer pricing. Editor buku ini, Basitrocchi dan Roxan, adalah dosen hukum pajak di London School of Economics and Political Science. Sedangkan para penulis atau kontributor dari masing-masing negara, namanya sudah tidak asing lagi, seperti Toshio Miyatake, Andreas Oestreicher, Reuven S. Avi-Yonah, Mukesh Butani, Richard Vann, Jinyan Li, dan sebagainya. Keterlibatan mereka menciptakan alasan yang kedua, yaitu kualitas. Hal tersebut terlihat dari isi yang analitis, terstruktur dengan baik, serta komprehensif. Selain itu, cakupan buku ini sangat luas dan mendalam. Kata āglobalā yang terdapat dalam judul buku ini ditunjukkan dengan penelusuran sengketa pada kurang lebih 20 negara yang tersebar di seluruh kawasan, mulai dari negara-negara Amerika Utara, Asia-Pasifik, Eropa, BRIC, Timur Tengah, hingga Afrika. Dengan begitu pembaca dapat melihat pola dan perkembangan sengketa di berbagai negara. Dalam mengkaji bagaimana hukum bekerja pada kasus transfer pricing, buku ini menggunakan OECD Guidelines sebagai acuan utama. Hal ini terlihat dari adanya suatu indeks pencantuman kasus-kasus sengketa transfer pricing di berbagai dunia yang disusun berdasarkan urutan paragraph dalam OECD Guidelines 2010. Buku ini juga tidak hanya memaparkan mengenai kasus hukum pengadilan pajak di berbagai negara saja, namun juga bagaimana sengketa biasanya diselesaikan misalnya dengan advance pricing agreement/APA. Isu prosedural dan administratif yang terkait dengan sengketa transfer pricing juga dikupas secara mendalam, di antaranya kesuksesan penerapan advance pricing agreement di Australia, safe harbour di Singapura, dibentuknya dispute resolution panel di India, diperkenankannya compensating adjustment di Spanyol, dan lain-lain. Sebagai penutup, Baistrocchi mengajukan suatu perbandingan dan pemetaan pola perkembangan sengketa transfer pricing di berbagai negara hingga tahun 2011. Dari perkembangan selama berpuluh- puluh tahun, sengketa transfer pricing dapat ditelusuri mulai dari evolusi armās length principle yang tidak dapat dilepaskan perilaku perusahaan multinasional dan keterlibatan aset tidak berwujud. Tertarik untuk membaca lebih lanjut? Buku ini dapat dibaca secara gratis dengan mengunjungi DDTC Library. Cek berita dan artikel yang lain di Google News. Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
JAKARTA- PT Unilever Indonesia Tbk sedang menghadapi gugatan terkait hak cipta yang diajukan Joice M. Senduk di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. G\gugatan tersebut terkait pencatuman foto Joice tanpa izin yang dilakukan Unilever dalam iklan. Kuasa hukum Joice, Hendrik Assa menjelaskan, kliennya pada November 2004 silam merupakan pemenang undian mesin cuci dari salah satu produk Unilever yakni, Rinso. Setelah dinyatakan pemenang, Joice diminta menandatangani sejumlah dokumen dan foto. "Saat itu pihak Unilever mengaku foto tersebut hanya untuk kelengkapan dokumen saja, namun suatu ketika malah foto tersebut dicantumkan dalam iklan Rinso di seluruh Indonesia baik di papan reklame maupun di media cetak," terang dia kepada KONTAN, Minggu 30/10/2016. Selain foto, pihak Unilever juga menjadikan Joice sebagai karikatur untuk untuk penunjang grafis iklan Rinso. Hendrik mengklaim, saat pengambilan foto tersebut Joice awalnya menolak, tapi untuk alasan kelengkapan dokumen dirinya baru menyetujui. Atas perbuatan tersebut, ia menilai tindakan Unilever sudah melanggar Pasal 12 UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta. Pasal tersebut menjelaskan, setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian, dan komunikasi atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya. Hendrik menambahkan, sebelum menempuh upaya hukum, pihaknya sudah mediasi secara bilateral dengan Unilever. Tapi sayangnya, mediasi yang sudah berjalan 10 tahun itu tidak ada hasil. Dimana awalnya, pihak Unilever menawarkan untuk membayar Rp untuk setiap titik iklan yang terdapat di seluruh Indonesia. "Tapi hal tersebut setiap ingin dibahas, pihak Unilever malah cenderung menghindar dan menawarkan pembayaran uang tunai Rp 50 juta," ucapnya. Maka dari itu pihaknya memberikan dua surat peringatan kepada Unilever. Napi dalam surat balasan terakhir, perusahaan menyatakan tidak memiliki hubungan apapun dengan Joice untuk urusan iklan. Bahkan Unilever pun cenderung mengalihkan ke PT Citra Lintas Indonesia sebagai pihak yang bertanggungjawab atas iklan Rinso tersebut